PEMERINTAH RI dinilai belum tegas dalam mengendalikan tembakau dan produk-produk turunannya. Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 28/2024 belum radikal dan komprehensif mengendalikan tembakau. Bahkan berbagai larangan yang diatur masih bersifat kompromistis. Demikian kata perwakilan Koalisi Nasional Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau, Ifdhal Kasim, kemarin.
“PP ini masih bersifat kompromistis, belum komprehensif dan radikal jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang sudah progresif dalam pengaturan tembakau. Misalnya saja mengenai pencantuman peringatan bahaya kesehatan di iklan masih 15%. Sementara pada kemasan masih 50%. Sedangkan di negara-negara lain itu peringatan sudah mencapai 95%,” jelasnya dalam konferensi pers di Jakarta, (2/8).
Selain itu, Ifdhal menekankan bahwa PP tersebut telah memandatkan perintah baru bagi Pemerintah Pusat dan Daerah untuk segera memberikan layanan konseling dan intervensi farmakologi bagi para perokok aktif mulai dari usia anak hingga dewasa.
“Sebelum ada PP ini, anjuran atau kewajiban ini tidak diatur dengan jelas tapi sekarang ada kewajiban dari pemerintah untuk menyediakan sarana konseling bagi perokok yang ingin putus merokok dan intervensi farmakologinya juga harus diatur. Oleh karena itu nanti setelah ada PP, semua rumah sakit baik di pusat dan daerah harus membuat berbagai konseling,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, wakil Centre of Human and Economic Development, Mukhaer Pakkanna mengatakan salah satu isi dalam PP 28/2024 yang merupakan aturan pelaksana dari UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, adalah pelarangan penjualan produk tembakau atau rokok secara eceran dan minimal 200 meter dari lingkup pendidikan “Mengenai lingkup pendidikan ini belum jelas apakah pendidikan formal, informal atau nonformal yang tidak diperbolehkan menjual rokok radius 200 meter di lembaga pendidikan, itu perlu dijelaskan di peraturan menteri,” jelasnya.
Mukhaer menjelaskan bahwa lebih dari 50% penjual rokok mengaku menjual rokok pada anak dan remaja. Selain itu, 3 dari 4 remaja usia 13-15 tahun akan membeli rokok di warung atau kios atau sebesar 76,6% dan membeli rokok secara eceran itu sekitar 71,3%. “Harga rokok di Indonesia termasuk paling murah di dunia dan penjualan secara eceran memantik harga menjadi makin terjangkau untuk anak-anak atau remaja,” tuturnya.
Iklan belum berpihak
Selain itu, Mukhaer menekankan, aturan larangan iklan rokok di berbagai media konvensional dan digital, menurutnya masih belum berpihak pada anak. Karena saat ini masih banyak anak muda yang tidur setelah pukul 22.00 WIB sehingga kerap kali terpapar iklan rokok.
“Iklan rokok diberi lampu hijau mulai pukul 22.00 sampai 05.00 pagi, padahal generasi Z itu ada yang suka begadang jadi justru iklan rokok itu harusnya ditiadakan,” katanya.
Sementara itu Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak, Kementerian PP-PA, Amurwani menyampaikan bahwa pengesahan PP ini merupakan salah satu langkah konkret Pemerintah dalam mewujudkan suara anak Indonesia yang disampaikan pada puncak Hari Anak Nasional.
“Lewat pengesahan PP ini, forum anak nasional memohon agar dioptimalkan regulasi perlindungan dan pemenuhan hak anak yang diadopsi dari prinsip hak anak melalui kerangka kerja Global,” jelasnya.
Sumber: https://mediaindonesia.com/humaniora/689897/pp-no-282024-belum-tegas-masih-bisa-dikompromikan