PENDAHULUAN
Kebijakan Cukai Hasil Tembakau, setiap tahunnya selalu menjadi polemik antara industri-pemerintah–dan masyarakat. Kebijakan ini memiliki dua mata pisau tajam perekonomian dan kesehatan masyarakat. Kenaikan tarif cukai hasil tembakau yang diharapkan berdampak langsung terhadap kenaikan harga rokok di pasaran menjadi salah satu alasan utama kenaikan tarif cukai secara bertahap mengalami kenaikan setiap tahunnya, di samping alasan peningkatan penerimaan negara.
CHED ITB Ahmad Dahlan Jakarta menyusun analisis berkaitan dengan kebijakan terpenting bagi Pengendalian Tembakau Nasional dalam Catatan Kebijakan berjudul “Kebijakan Cukai dan Harga Rokok yang Seimbang-Berkeadilan Menuju Masyarakat Indonesia Unggul”. Semoga dokumen ini berfungsi sebagai bahan yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah merumuskan kebijakan CHT yang seimbang, stabil, dan pasti berdasarkan studi empiris yang dilengkapi dengan fakta di lapangan.
A. JENIS ROKOK/SIGARET DALAM KACAMATA KEBIJAKAN FISKAL
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 198/PMK.010/2020 tentang tarif cukai hasil tembakau pada pasal 1 menyebutkan bahwa sigaret adalah hasil tembakau yang dibuat dari tembakau rajangan yang dibalut dengan kertas dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
Ada 3 jenis sigaret yang selalu mengalami evaluasi rutin setiap tahunnya yaitu SKM, SPM dan SKT/SP, karena jenis sigarette ini yang memiliki pangsa pasar terbesar di Indonesia. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 198/PMK-010/2020 menjelaskan dan mencakup beberpa jenis hasil tembakau yaitu : SKM,SPM, SKT, SKTF, SPT, SPTF, SKK, Cerutu, Rokok Daun/Klobot, Tembakau Iris(TIS), HPTL, Ekstrak dan Essens Tembakau, Tembakau Molasess, Tembakau Hirup, dan Tembakau Kunyah. Informasi Batasan Harga Jual Eceran dan Tarif Cukai per batang atau gram hasil tembakau pada peraturan terbaru (Tabel.1).
Tabel 1. Batasan Harga Jual Eceran dan Tarif Cukai Per Batang atau Gram Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri
Sumber: Lampiran Peraturan Menteri Keuangan No 198/PMK010/2020
A.1 PERBEDAAN PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN MINIMUM PADA SKM, SPM DAN SKT.
Harga jual eceran (HJE) adalah nilai harga jual serendah-rendahnya atas masing-masing jenis hasil tembakau produksi golongan pengusaha pabrik tertentu yang ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan. Sementara Harga Transaksi Pasar (HTP) adalah besaran harga transaksi penjualan yang terjadi pada tingkat konsumen akhir.
Untuk SKT, kementerian keuangan menetapkan HJE dan CHT lebih rendah dari SKM dan SPM karena industri SKT ini memberikan kontribusi penyerapan tenaga kerja lebih besar dari SKM dan SKT. Bahkan pada PMK 198/PMK.010/2020 rokok jenis SKT ini tidak mengalami kenaikan cukai, kebijakan tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan industri SKT yang syarat dengan padat karya dalam proses produksinya selebihnya pertimbangan karena masa pandemik.
Untuk SKM, penggunaan bahan baku SKM menggunakan kandungan lokal seperti cengkeh dan porsi tembakau lokal yang lebih besar namun dalam proses produksinya menggunakan mesin sehingga penyerapan tenaga kerjanya lebih rendah dari SKT. Oleh karena itu penetapan HJE dan CHT-nya lebih tinggi daripada HJE dan CHT pada SKT. Berbeda dengan SPM, industri rokok SPM dikenakan CHT dan HJE oleh kementerian keuangan dengan tarif yang paling tinggi jika dibandingkan dengan SKM dan SKT. Penyebabnya adalah proses produksi SPM sangat rendah dalam penyerapan tenaga kerja dan faktor penggunaan bahan baku tembakau impor serta tidak menggunakan cengkeh.
A.2 PERBEDAAN JUMLAH PRODUKSI PADA SKM, SPM DAN SKT
Produksi rokok setiap tahun selalu mengalami perubahan secara fluktuatif. Jumlah produksi rokok ini menjadi variabel Y akibat dampak dari variabel X di antaranya kebijakan pemerintah yang diimplementasikan melalui instrumen fiskal maupun non fiskal. Alhasil pertumbuhan produksi rokok selalu mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Digambarkan pertumbuhan produksi rokok sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2018. (Gb.1)
Gambar 1. Pertumbuhan Produksi Rokok
Sumber: Kementerian Perindustrian, 2020
Produksi rokok pada tahun 2018 mencapai 332,28 miliar batang di mana produksi ini didominasi oleh rokok jenis SKM sebesar 76% atau 252,76 miliar batang, SKT sebesar 19,8% atau 65,81 miliar batang dan SPM sebesar 4,2% atau 13,81 miliar batang, ditunjukkan pada grafik produksi rokok Tahun 2011 – 2018 (Gb. 2).
Gambar 2. Grafik Produksi Rokok Sejak Tahun 2011 Hingga Tahun 2018
Sementara itu Kementerian Keuangan mengklaim produksi rokok per 10 Desember 2020 telah mencapai 298,4 miliar batang. Produksi rokok tertinggi masih didominasi oleh rokok jenis SKM-1 sebanyak 163,4 miliar batang. Produksi tertinggi kedua adalah rokok jenis SKM-IIB sebanyak 40,2 miliar batang. Kemudian diikuti urutan ketiga dan keempat adalah rokok jenis SKT III sebesar 27,7 miliar batang dan SKT-IB sebesar 26,9 miliar batang. Sementara produksi yang paling rendah adalah jenis rokok SPM-IIA dan SPM-IIB yaitu sebesar 2,7 miliar dan 2,2 miliar batang. Selengkapnya dapat dilihat pada grafik jumlah produksi rokok Tahun 2020 (Gb. 3).
Gambar 3. Jumlah Produksi Rokok Tahun 2020Untuk Masing-Masing Jenis
Sumber: Kementerian Keuangan, 2020
Berdasarkan dua sumber kementerian tersebut dapat dilihat bahwa produksi rokok ini didominasi oleh rokok jenis SKM, diikuti dengan SKT selebihnya diproduksi oleh SPM. Kondisi ini menunjukkan bahwa penerimaan cukai hasil tembakau yang diperoleh pemerintah setiap tahun berasal dari industri rokok SKM, khususnya SKM-1 di mana golongan pengusaha pabrik pada industri ini mempunyai kapasitas produksi lebih dari 3 milyar per tahun. Namun produksi SPM-1 walaupun mempunyai kapasitas produksi hingga lebih 3 miliar batang per tahun tidak mampu menjadi produsen terbesar, hal ini disebabkan oleh bahan baku yang kurang diminati oleh para perokok Indonesia yang cenderung lebih menyukai tembakau lokal dengan campuran cengkeh.
Data pertumbuhan cukai hasil tembakau terhadap produksi rokok di Indoensia menunjukkan penurunan produksi yang cukup signifikan akibat kenaikan tarif cukai rokok di awal tahun 2020 sebesar 23% (Gb. 4).
Gambar 4. Pertumbuhan Produksi Rokok dengan Cukai Rokok
A. 3 PERBEDAAN DAMPAK PEMBERLAKUAN HTP 85% TERHADAP SKM, SPM DAN SKT.
Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017 untuk pertama kalinya pemerintah memberlakukan ketentuan Harga Transaksi Pasar (HTP) rokok sebesar 85%. Berlakunya HTP 85% ini artinya perusahaan rokok diperbolehkan menjual di bawah 85% dari harga banderol. Kebijakan ini bukan tanpa sebab, menurut temuan di jajaran kementerian keuangan, banyak perusahaan yang menjual harga rokok di tingkat retail jauh lebih rendah dari harga banderol.
Kondisi ini dikhawatirkan akan merugikan industri SKT sebagai korban predatory price dari industri yang menggunakan mesin dalam proses produksinya. Pada PMK 198/PMK.010/2020 diputuskan kembali tentang kebijakan HTP 85% ini. Pada PMK ini diperkuat dengan sanksi yang akan diperoleh apabila ada perusahaan yang secara cukup memenuhi melakukan pelanggaran akan dilakukan evaluasi terhadap profil perusahaan yang bersangkutan.
Pelaksanaan HTP 85% di lapangan belum maksimal, dengan banyak rokok dijual jauh di bawah harga banderol. Berdasarkan survei kecil yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 25 Maret 2021, dari 16 merek sampel gabungan dari jenis SKT, SKM dan SPM ada sebanyak 6 merek rokok yang menjual rokoknya di bawah HTP 85%, dan merek rokok yang menjual di bawah HTP 85% tersebut dilakukan oleh jenis rokok SKM dan SPM, rokok jenis SKT justru menjual rokoknya di atas HTP 85% bahkan menjual di atas harga banderol.
Berdasarkan hal tersebut ada kemungkinan rokok jenis SKT tidak dapat mengurangi biaya produksi dan margin mereka untuk memanfaatkan kebijakan HTP 85% ini karena proses produksi mereka melibatkan tenaga kerja manusia berbeda dengan SKM dan SPM.
Jika pelanggaran terhadap HTP 85% ini tidak diberlakukan sanksi yang tegas maka bisa membuka kemungkinan industri SKT tidak dapat bertahan dan bisa mendorong munculnya produksi ilegal dari jenis SKT. Monitoring Harga Transaksi Pasar pada survei 16 merek rokok menunjukkan adanya ketidaksesuaian HTP 85% (Tabel.2).
Tabel 2. Sampel Monitoring Harga Transaksi Pasar Harga Rokok
Sumber : Olah Data CHED ITB AD, 2020
Penetapan harga transaksi pasar di bawah HTP 85% juga berdampak pada insentif harga yang diterima oleh para perokok. Apabila diasumsikan semua jenis rokok SKM dan SPM menetapkan HTP persis di angka 85%, maka dipastikan setiap perokok dari semua jenis rokok tersebut akan mendapatkan insentif harga sebesar 21% sampai dengan 24% setiap bungkusnya. Angka 21% – 24% ini adalah merupakan diskon bagi perokok.
Berdasarkan hasil survei sederhana yang dilakukan CHED ITB Ahmad Dahlan, apabila jenis rokok SKM-1 menetapkan HTP tertinggi sebesar 98%, maka akan memberikan insentif (diskon) harga kepada perokok sebesar 3%. Apabila jenis rokok SKM-1 menetapkan HTP terendah 71%, maka akan memberikan insentif (diskon) harga kepada perokok sebesar 45%. Pada kasus jenis rokok SPM, apabila mereka menjual dengan HTP 84% maka akan memberikan insentif (diskon) ke perokok sebesar 26%. Dasar perhitungan diskon tersebut di atas adalah dihitung dari kenaikan marginal CHT dari PMK 146/2017 ke PMK 152/2019.
Namun dalam kondisi yang sama, industri SKT justru tidak bisa memanfaatkan kebijakan HTP 85% ini secara maksimal karena terkendala dengan ketidakmampuannya menekan biaya produksi dan margin seperti yang dilakukan oleh industri SKM dan SPM. Kondisi ini tentunya menjadi tidak adil bagi industri SKT. Berikut adalah data bagaimana terdapat perbedaan dampak antara SKT, SKM dam SPM akibat dari penetapan HTP 85%. Berikut ilustrasi perhitungannya:
Tabel 3. Ilustrasi Perbedaan Hasil Hitung SKT, SKM dan SPM Pasca Kebijakan HTP 85%
Sumber : Olah Data CHED ITB AD, 2020
A. OPTIMALISASI PEMULIHAN EKONOMI NASIONAL DENGAN REFORMASI CUKAI HASIL TEMBAKAU
Pemerintah mencanangkan “Percepatan Pemulihan Ekonomi dan Penguatan Reformasi” sebagai tujuan utama APBN tahun 2021. Bencana kesehatan Covid-19 menyebabkan pendapatan negara tahun 2020 defisit Rp 1.039,3 triliun dan tahun 2021 diperkirakan pemerintah masih mengalami defisit Rp 1.006,4 triliun. Turunnya pendapatan negara dan besarnya biaya pemulihan ekonomi dan kesehatan serta rendahnya rasio pajak diduga menjadi penyebab utama negara Indonesia mengalami defisit. Solusi dari pemerintah untuk mengatasi defisit adalah pembiayaan utang melalui Surat Berharga Negara.
Pemerintah berusaha mengatasi defisit dengan meningkatkan pembiayaan utang Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 1.177,4 T. Angka ini mengambil realisasi SBN 2020 sebesar 1173,7 T. Namun di masa Pemulihan Ekonomi Nasional ini, ada baiknya pemerintah menyiapkan sumber pendapatan lain yang lebih pasti misalnya peningkatan cukai.
Cukai walaupun tujuannya utamanya adalah pengendalian konsumsi, dapat digunakan sebagai alternatif peningkatan pendapatan negara. Dari target penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.444,5 triliun, cukai ditargetkan menyumbang sebesar Rp 180 triliun. Jumlah yang seharusnya bisa ditingkatkan lagi menjadi Rp 210 triliun tahun 2022 jika pemerintah dapat menaikkan cukai sebesar 20%. Potensi pendapatan sebesar Rp 30 triliun ini sangat berarti mengingat defisit anggaran pemerintah masih sangat besar yaitu lebih dari Rp 1.000 T.
Gambar 5. Target Penerimaan Kepabeanan dan Cukai 2021 APBN 2021.
Sumber : Kementerian Keuangan
Kementerian Keuangan menerbitkan rencana strategis PMK 77/PMK.01/2020 untuk mendukung RPJMN Presiden. Beberapa poin penting terkait cukai hasil tembakau adalah sebagai berikut :
- Urgensi pembentukan Rancangan Undang-undang untuk menegaskan paradigma cukai sebagai instrumen fiskal untuk mengendalikan konsumsi/ penggunaan objek cukai.
- Penetapan cukai yang lebih efektif dan efisien, rangka ekstensifikasi objek cukai), agar dapat memaksimalkan cukai sebagai sumber penerimaan negara selain perpajakan yang potensial, adaptif, dan rasional.
- Mengembangkan materi administrasi cukai lainnya terhadap perkembangan hukum, ekonomi, industri, tuntutan bisnis/perdagangan, lingkungan, sosial masyarakat, dan teknologi.
Renstra dari kementerian keuangan ini perlu ditindaklanjuti untuk mengatasi persoalan terkait cukai sebagai berikut:
- Penghapusan batasan persentase cukai maksimal 57% untuk mengoptimalkan tarif cukai hasil tembakau. Pada barang cukai lain tidak ada batasan maksimal persentase ini.
- Diperlukan roadmap kenaikan cukai dan simplikasi strata cukai.
- Kewajiban melibatkan industri rokok terkait regulasi cukai hasil tembakau dalam UU Cukai. hal ini menyebabkan fungsi cukai sebagai pengendali konsumsi tidaklah maksimal.
- Penetapan cukai yang diskriminatif cukai hasil tembakau dengan cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA). MMEA hanya memiliki 3 strata cukai sehingga lebih sederhana dan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% mengikuti peraturan tentang PPN. Sehingga nilai PPN untuk MMEA lebih tinggi dari PPN untuk hasil tembakau yang hanya 9,1% menurut PMK Nomor 207/PMK.010/2016.
- Rokok masih bisa dijual batangan sehingga bisa dibeli oleh kalangan remaja dan anak-anak.
- Munculnya jenis rokok elektrik dan rokok lainnya. Walaupun sudah dikenakan cukai 57%, konsumsinya masih terus meningkat.
Roadmap simplifikasi dan kenaikan cukai akan mendatangkan minimal triple keuntungan yaitu;
- Kesehatan: pengurangan prevalensi merokok anak-anak dan masyarakat miskin.
- Peningkatan target cukai untuk membantu mengatasi defisit.
- Peningkatan efektivitas bantuan sosial (Bansos) dengan berkurangnya kemungkinan Bansos untuk konsumsi rokok.
Penanganan covid-19 seharusnya diiringi pencegahan penyakit pernapasan lainnya yang bisa dicegah misalnya pencegahan penyakit akibat konsumsi rokok. Ini akan berdampak pada kurang lebih 68 juta perokok aktif dan 98 juta perokok pasif. Jumlah yang sangat besar yang bisa dicapai untuk target kesehatan dan ekonomi.
B. KEBIJAKAN CUKAI HASIL TEMBAKAU BELUM SEIMBANG DAN BERKEADILAN
Harga rokok di Indonesia tergolong sangat murah dibandingkan dengan negara- negara lain di Asia Pasifik. Indonesia berdiri di antara negara-negara Asia Pasifik. Indonesia memiliki Harga rokok di Indonesia tergolong sangat murah dibandingkan dengan negara- negara lain di Asia Pasifik. Indonesia berdiri di antara negara-negara Asia Pasifik. Indonesia memiliki harga rokok terendah (Gambar. 8).
Data Bank Dunia dari Indonesia dan negara lainnya dunia menunjukkan bahwa menurunkan harga rokok menyebabkan konsumsi yang lebih tinggi. Rokok harga rendah terjangkau untuk semua segmen ekonomi masyarakat dan sedang lebih cenderung mendorong mulai merokok dan sedang pencegah penghentian. Selain itu, banyak orang miskin dan pemuda membeli rokok sebagai batang tunggal dari jalan vendor, membuat rokok lebih mudah diakses.
Gambar 6. Perbandingan Harga Jual Rokok di berbagai Negara.
Sumber : WHO (2019)
Cukai hasil tembakau dan harga rokok di Indonesia rendah, kenaikan secara berkala (sekitar 10% per tahun), produk tembakau menjadi lebih banyak terjangkau selama bertahun-tahun karena kenaikan harga masih tetap jauh di bawah tingkat inflasi dan meningkatnya tingkat pendapatan populasi. Analisis tren harga tembakau di Indonesia menunjukkan hal itu keterjangkauan produk tembakau meningkat 50% selama periode 2002–2016. Analisis juga ditunjukkan bahwa bagian dari produk domestik bruto (PDB) perlu membeli 100 bungkus rokok menurun dari 6% di 2002 menjadi 4% pada tahun 2016, menjadikan harga rokok lebih terjangkau untuk orang biasa (Gambar. 6).
C.1 PERMASALAHAN CUKAI HASIL TEMBAKAU
Regulasi utama Cukai Hasil Tembakau (CHT) di Indonesia adalah UU No.39/2007 tentang Cukai, di mana tarif diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Keuangan (Peraturan Kemenkeu) yang mengalami pembaharuan berulang kali yaitu PMK 146/2017 menjadi PMK 152/2019 menjadi PMK 198/2020. Saat ini, CHT diatur di bawah PMK terbaru tahun 2020 Kemenkeu No.198/2020.
Hal mendasar yang menjadi permasalahan pada regulasi ini, Pertama berkaitan dengan tarif cukai hasil tembakau yang kompleks. Bank Dunia mengkonfirmasi dalam studinya bahwa tarif Cukai Hasil Tembakau di Indonesia termasuk yang paling rumit di dunia, dengan sistem yang berlapis berdasarkan produk tembakau, golongan industri berdasarkan jumlah produksi, Harga Jual Eceran (HJE) per unit.
Di berbagai negara klasifikasi tarif yang kompleks sudah ditinggalkan dan tidak umum diterapkan. Dengan tarif CHT yang lebih sederhana akan mempermudah fungsi pemantauan dan mengurangi biaya administrasi. Dan struktur tarif yang lebih sederhana sejalan dengan pengendalian tembakau, karena akan mendorong fungsi kontrol konsumsi rokok di masyarakat.
Gambar 7. Perkembangan Strata Tarif Cukai di Indonesia Per Tahun
Sumber : Kementerian Keuangan RI (berdasarkan PMK tentang cukai)
Penyederhanaan tarif cukai (simplifikasi layer cukai) akan mendorong optimalisasi penerimaan cukai, mendorong kepatuhan industri, dan mendorong penurunan penurunan konsumsi rokok di kalangan masyarakat rentan dan perokok pemula tidak diatur kembali dalam PMK terbaru. Peta jalan penyederhanaan layer CHT yang telah diatur pada PMK 146 Tahun 2017, dengan penyederhanaan layer cukai hingga 5 sampai 3 layer secara bertahap .
Masalah mendasar kedua terkait dengan penyesuaian tarif CHT dan HJE yang tidak stabil, keduanya di antara tingkatan dan jenis produk tembakau. Kenaikan rata-rata 12,5% berdasarkan PMK terbaru, sedangkan kenaikan tarif cukai sebelumnya sekitar 23% dan HJE 35%. Hal ini menunjukkan ketidakstabilan kenaikan CHT dan HJE yang tidak konsisten, yang menjadikan peluang polemik dan potensi kenaikan yang tidak sistematik, sehingga tidak dapat memberikan proyeksi penerimaan dan pengendalian konsumsi secara pasti di beberapa tahun ke depan.
Inkonsistensi penyesuaian tarif CHT dan HJE memberikan peluang kepada industri untuk bermain dan melakukan upaya negosiasi dalam penentuan tarif CHT dan HJE setiap tahunnya. Penentuan HJE yang konsisten dan jelas untuk beberapa tahun ke depan akan membantu pengendalian rokok ilegal akibat kenaikan harga transaksi rokok akibat kenaikan tarif cukai. Sebab HJE merupakan faktor penentu kenaikan Harga Transaksi Pasar (HTP).
Masalah ketiga terkait dengan aspek pengendalian konsumsi Produk Tembakau. Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam CHT regulasi adalah kondisi pasar di mana harga-harga produk tembakau yang beredar di pasaran (Harga Transaksi Pasar / HTP) tidak sesuai dengan harga yang tertera di banderol pada kemasan (Harga Jual Eceran / HJE). Akibatnya, ini mengarah pada penetapan harga dan harga yang predator perang antar produsen.
Fungsi cukai sebagai pengontrol konsumsi rokok menjadi sulit untuk dilaksanakan.Masalah yang timbul di lapangan tidak diatur detail pada kebijakan terkait CHT, dalam PMK 198 2020 pasal 15 ini pemerintah menetapkan minimum ambang batas 85% pada rasio HTP ke HJE. Namun regulasi ini dalam pelaksanaan di lapangan menetapkan penerapan HTP / HJE yang lebih longgar rasio kurang dari 85% sepanjang rokok dijual di kurang dari 50% area yang dipantau. Turunan peraturan tersebut berbentuk Direktur Jenderal Peraturan Bea dan Cukai yaitu PER-Dirjen BC Nomor PER-37 / BC / 2017 juncto PER-12 / BC / 2018 juncto PER-25 / BC / 2018.
C.2 DAMPAK KEBIJAKAN CHT SAAT INI
Dampak Terhadap Penerimaan Negara dari CHT (Cukai Hasil Tembakau) sangat signifikan, kurang lebih penerimaan cukai tahun 2021 ditargetkan mencapai 173,78 Triliun. Penerimaan CHT ini menempati kurang lebih 10% dari APBN Indonesia. Namun dari kebijakan tarif cukai yang baru saja diterbitkan (PMK No. 198/010/Tahun 2020) tidak terdapat penyederhanaan layer cukai, hal ini bisa menjadikan kontradiktif tujuan kebijakan fiskal melalui cukai dan untuk optimalisasi penerimaan negara. Peluang penerimaan negara lebih besar dengan pengaturan yang lebih sederhana akan tercapai dengan adanya simplifikasi layer cukai hasil tembakau.
Kebocoran potensi penerimaan akibat adanya perilaku downgrade pembayaran tarif cukai industri rokok pada golongan di bawahnya, mengakibatkan kehilangan potensi penerimaan cukai. Di samping praktik tersebut akan menimbulkan adanya predatory pricing antara golongan besar ke kecil, sehingga golongan pabrik yang lebih kecil tidak bisa menekan harga lagi. Kondisi ini Secara konseptual, jenis kebijakan ini dapat mendistorsi keputusan bisnis merusak penerimaan negara. Kebijakan cukai hasil tembakau ini sebenarnya cukup powerful, tetapi kenyataannya bahwa kebijakan ini kurang efektif jika melihat tujuan penerimaan masih ada kebocoran dan tujuan pengendalian tidak tercapai.
A. DAMPAK SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
Dampak positif yang diharapkan dari kenaikan cukai rokok secara langsung akan berdampak pada kenaikan harga. Konsumsi rokok yang terus naik di Indonesia, salah satu faktor penyebabnya adalah murahnya harga rokok. Rokok sebagai sebuah barang yang adiktif menjadi barang yang inelastis yaitu permintaan barang tidak tergantung kenaikan harga. Oleh karena itu penetapan harga transaksi pasar yang tepat akibat kenaikan tarif cukai harus dirumuskan secara seksama, sehingga kenaikan harga rokok di pasaran akan memberikan dampak berarti untuk penurunan konsumsi rokok (terutama di kalangan anak-anak/remaja dan masyarakat rentan).
Data penelitian terakhir Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa FKUI-RSCM mendapatkan hasil bahwa peningkatan 20,1% pada orang yang merokok pada saat pandemi Covid-19. Perubahan perilaku ini patut diwaspadai untuk mengantisipasi peningkatan beban psikologis yang diakibatkan oleh kondisi saat ini. Walaupun di sini juga dijelaskan dibandingkan dengan konsumsi alkohol, konsumsi rokok ada penurunan, perilaku merokok didapatkan lebih banyak mengalami penurunan dibandingkan peningkatan.
Hal ini dihubungkan dengan meningkatnya pemahaman warga terkait hubungan negatif antara merokok dan COVID-19 yang dapat memperburuk gejala. Akan tetapi, penurunan konsumsi rokok juga didapatkan berkorelasi dengan peningkatan jumlah gejala psikologis seperti kecemasan, sensitivitas inter-personal, dan perilaku psikotik yang mungkin didorong akibat penurunan konsumsi nikotin.
Riset Kesehatan Dasar (2018) menunjukkan bahwa prevalensi perokok pemula (anak pada populasi usia 10 – 18 Tahun) meningkat sebesar 9,1% dengan data historis sejak tahun 2013 prevalensi 7,2% kemudian meningkat pada tahun 2016 sebesar 8,8%. Data ini menunjukkan bahwa kenaikan tarif cukai yang dilakukan setiap tahun belum bisa secara langsung akan menurunkan prevalensi perokok pemula. Evaluasi kebijakan penentuan tarif cukai dan harga transaksi pasar rokok perlu menjadi perhatian penting, selain juga mendorong kebijakan non-fiskal (Revisi PP 109 Tahun 2012) untuk mengatur peredaran rokok dan iklan rokok.
Gambar 8. Prevalensi Merokok Pada Populasi Anak Usia 10-18 tahun, 2018
Sumber : Riskesdas 2018
Survei GYTS (Global Youth Tobacco Survey) Tahun 2019 menunjukkan bahwa 76,6% siswa yang saat ini merokok membelinya dari toko, pedagang kaki lima, atau kios. Di antara siswa yang saat ini merokok yang mencoba untuk membeli rokok, 60,6% tidak dicegah untuk membeli karena usia mereka.
Data ini menunjukkan bahwa harga rokok masih sangat terjangkau di kalangan anak dan remaja usia sekolah. Bahkan penjualan rokok bisa dilakukan secara eceran menyesuaikan dengan uang saku anak sekolah. Hasil Penelitian PKJS-UI menunjukkan bahwa penerima Bansos saat pandemi Covid -19 menggunakan dana bantuan untuk membeli rokok.
Hal ini berpengaruh pada efektivitas program bantuan sosial tersebut. Survei menunjukkan bahwa penerima bantuan sosial cenderung membelanjakan uang bantuan tersebut untuk rokok. Hal ini dapat berdampak negatif bagi efektivitas program bantuan sosial itu sendiri. konsumsi rokok yang terus meningkat walau keadaan ekonomi sulit dapat disebabkan harga rokok yang masih relatif terjangkau bagi masyarakat miskin. Kenaikan harga rokok melalui mekanisme kenaikan cukai hasil tembakau dan harga jual eceran sangat diperlukan untuk menjauhkan keterjangkauan kelompok rentan, termasuk anak dan remaja, dari pembelian rokok.
B. DAMPAK TERHADAP INDUSTRI
Pada tanggal 17 Maret 2021 lalu, Bea Cukai melaksanakan ekspor perdana dua komoditas berbeda, yaitu kepiting dan hasil tembakau. Bea Cukai Madiun juga melepas ekspor perdana hasil tembakau berupa 15.000 bungkus rokok berjenis sigaret putih mesin(SPM) milik PT Karya Sukses Mandiri (KSM). Asistensi ekspor yang terus dilakukan Bea Cukai Madiun kepada para pelaku industri, tak terkecuali industri hasil tembakau, berbuah hasil dengan terlaksananya ekspor sejumlah 3.000.000 batang yang dikemas dalam 300 karton. Ini adalah ekspor perdana yang dilakukan oleh PT KSM Ponorogo, sekaligu ekspor perdana hasil tembakau di tahun 2021 ini.
C.3 KERUGIAN AKIBAT ROKOK
Rokok sebagai barang kena cukai menggambarkan bahwa rokok menimbulkan akibat negatif baik kepada individu yang mengkonsumsinya maupun kepada masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Dana cukai yang berhasil dikumpulkan nantinya akan dialokasikan untuk menurunkan jumlah konsumen (dalam bahasa hukumnya mengendalikan konsumsi) dan menutupi akibat negatif yang ditimbulkannya. Wulandari et.al (2019) menegaskan bahwa kerugian yang harus ditanggung negara pada tahun 2015 adalah tiga kali lebih besar daripada jumlah penerimaan negara dari rokok, di mana kerugian itu hanya dinilai dari segi gangguan kesehatan saja.
Jika pendapatan cukai rokok per November 2020 adalah sebesar Rp146 triliun maka besar kerugian negara diperkirakan mencapai Rp438 triliun. Angka kerugian ini berarti 1,2 kali lebih besar daripada penerimaan negara bukan pajak pada APBN tahun 2020. Hal ini menegasikan pernyataan perusahaan rokok yang dengan bangganya menganggap pembayaran cukainya sebagai tulang punggung pendapatan negara, sebenarnya adalah drakula pengisap pendapatan negara karena nilai kerugian yang diperkirakan mencapai Rp438triliun untuk biaya kesehatan itu telah menggerogoti total anggaran pendapatan negara tahun 2020 yang sebesar Rp2.233,2 triliun.
Lebih lanjut, jika dibandingkan dengan anggaran pengeluaran negara tahun 2020 untuk kesehatan yang sebesar Rp132,2 triliun seharusnya pernyataan tulang punggung pendapatan negara sudah bisa dianggap tidak berdasar sama sekali. Sebab, industri rokok hanya bisa hidup dari orang-orang yang ditanggung kesehatannya oleh negara karena penyakit yang timbul dari kebiasaan merokoknya.
Jika merujuk pada penelitian Astuti et.al (2020) bahwa permasalahan tidak efektifnya pengelolaan cukai Indonesia secara prinsip disebabkan oleh 4 faktor, yaitu: 1. Struktur politik dan hierarki kebijakan yang rumit. 2. Kondisi birokrasi yang kompleks. 3. Fungsi dan tanggung jawab yang tidak jelas, dan 4. Tingginya tingkat korupsi.
A. KERUGIAN TERHADAP KESEHATAN, SOSIAL, EKONOMI SECARA LANGSUNG
Fungsi pengendalian dari cukai mengamanahkan kepada pemerintah untuk mengatur produksi dan peredaran produk rokok agar jumlah perokok semakin lama semakin berkurang. Hal ini seharusnya ditandai dengan berkurangnya jumlah batang rokok yang beredar di masyarakat. Jika dilihat dari sisi keuangan negara, kenaikan cukai rokok yang diniatkan untuk mengurangi affordability atau keterjangkauan, tidak akan mengurangi pendapatan negara karena penurunan volume rokok dapat diimbangi dengan kenaikan harga cukainya.
Gambar 9. Jumlah produksi dan konsumsi rokok di Indonesia dari tahun 2011 hingga 2016.
Sumber : Euromonitor, Bank Dunia
Sayangnya, hal yang diharapkan ini jauh panggang dari api. Berdasarkan laporan dari Eurometer yang disajikan dalam kajian Bank Dunia berjudul Cigarette Affordability In Indonesia: 2002-2017 menggambarkan bahwa trend jumlah produksi dan konsumsi rokok terus mengalami kenaikan, sebagaimana terlihat pada gambar 4 diatas.
Dalam salah satu artikelnya di akhir tahun 2020, Bloomberg bahkan mengatakan bahwa Indonesia adalah pasar rokok terbesar nomor dua di dunia setelah Tiongkok. Harga yang sangat murah dibanding negeri tetangganya menjadi faktor penentu banyaknya jumlah perokok di negeri ini. Sebagai pembanding, rokok paling terkenal di Malaysia dan Australia dijual dengan harga USD11,82 dan USD14,86, sedangkan di Indonesia harganya sekitar USD5,23. Dengan kondisi seperti ini, Indonesia dilaporkan sebagai negara yang hampir 30% dari populasi dewasanya adalah perokok.
Hirschmann (2020) lebih lanjut menjelaskan bahwa, meskipun pemerintah Indonesia terus menaikkan cukai pajak hampir setiap tahunnya, jumlah perokok di Indonesia tidak juga mengalami pengurangan yang signifikan. Menurut survei yang dilakukannya, jumlah responden yang merokok antara 10 hingga 15 batang per hari mencapai 32 persen, adapun lebih dari 10 persennya merokok lebih dari 20 batang per hari. Perokok pemula juga tidak lepas dari perhatiannya, di mana pada tahun 2019 para perokok pemula yang berusia 16 sampai dengan 18 tahun mengakui bahwa penyebab mereka mulai merokok adalah karena rasa ingin tahu dan ingin mencoba. Gambar berikut menjelaskan peta prevalensi perokok berusia 15 tahun ke atas di dunia, dan Indonesia termasuk dalam negara yang paling banyak jumlahnya.
Gambar 10 peta prevalensi perokok berusia 15 tahun ke atas di dunia
Sumber : WHO
Jumlah perokok yang sangat besar di Indonesia ini telah dilaporkan banyak memberikan dampak eksternalitas yang sangat merugikan baik dari segi kesehatan, sosial dan ekonomi. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa biaya kesehatan akibat dari rokok adalah tiga kali lebih banyak dari jumlah pendapatan cukai yang diterima negara.
Berdasarkan laporan dari Tobacco Atlas yang dikeluarkan oleh American Cancer Society, gangguan kesehatan akibat dari asap rokok menyebabkan kematian mendadak pada janin, asma, gangguan pernafasan, kanker paru-paru, penyakit jantung, gangguan reproduksi, stroke, dan banyak lagi lainnya. Semuanya akan memakan biaya yang mahal dan menimbulkan gangguan sosial yang besar. Jumlah masyarakat yang terpapar asap rokok di Indonesia dilaporkan sebesar 80 persen dengan kejadian sebagian besar di restoran.
Gambar 11. Siklus kerusakan sosial akibat dari konsumsi rokok
Sumber : Tobacco Atlas oleh American Cancer Society
Dalam laporan di atas dijelaskan tentang siklus kerusakan sosial yang ditimbulkan dari alokasi dana keluarga yang digunakan untuk mengkonsumsi rokok. Awal mula kerusakan dari penggunaan dana keluarga untuk rokok ini adalah meningkatnya biaya kesempatan yang hilang, misalnya karena berkurangnya kemampuan menyekolahkan anak, dan menurunnya kemampuan untuk membelikan makanan bergizi bagi seluruh anggota keluarga. Kerusakan berikutnya adalah munculnya penyakit ikutan dari kebiasaan merokok. Kondisi ini tentunya akan menaikkan biaya kesehatan yang harus ditanggung dan berkurangnya pendapatan keluarga karena hilangnya jam kerja. Belum lagi jika terjadi kematian anak prematur, yang akan membuat keluarga tersebut makin jatuh dalam kondisi kemiskinan. Uniknya, keluarga yang sudah jatuh miskin ini justru akan semakin terikat dengan konsumsi rokoknya dan begitu seterusnya hingga keluarga miskin tersebut akan jatuh makin dalam ke lubang kemiskinannya dan diteruskan hingga generasi berikutnya.
Dengan demikian, Indonesia menghadapi permasalahan ekonomi yang berat terhadap kondisi perangkap kemiskinan akibat dari industri rokok. Kemiskinan yang muncul adalah kemiskinan struktural akibat terganggunya kemampuan mengakses pendidikan tinggi dan nutrisi buruk. Tentunya ini akan sangat mengganggu potensi bonus demografi yang akan tiba pada tahun 2030-2040.
Berdasarkan siaran pers dari Kementerian PPN/Bappenas disebutkan bahwa Indonesia akan mengalami bonus demografi yang mana jumlah usia produktifnya akan lebih besar dari penduduk usia tidak produktif dengan rasio hampir 2:1. Dengan perkiraan jumlah penduduk sebanyak 297 juta jiwa maka bonus demografi ini berpotensi menjadi bencana demografi kalau jumlah usia produktif itu tidak memiliki kualitas pendidikan dan keterampilan yang cukup untuk masuk ke pasar tenaga kerja.
Dengan jumlah perokok saat ini yang mencapai sepertiga dari populasi di mana 38 persennya adalah mereka yang berpenghasilan Rp 1juta sampai Rp 5 juta sebulan (Enjeline et.al, 2021), maka hampir bisa dipastikan bahwa 40% dari perokok ini akan berada dalam perangkap kemiskinan di tahun 2030 – 2040 nanti. Dengan jumlah penduduk hampir 300 juta jiwa di saat itu, maka jumlah usia produktif yang berada dalam perangkap kemiskinan nanti adalah sebesar 36 juta jiwa (300 juta x 30% populasi perokok x 40% miskin). Ini berarti lebih dari 10% masyarakat Indonesia saat itu akan berada pada kondisi kemiskinan absolut jika proses kemiskinan struktural yang berlangsung saat ini tidak dihentikan atau dikurangi. Padahal PBB sudah mencanangkan program SDGs, yaitu sebuah program pembangunan yang berkelanjutan sejak tahun 2012. Satu dari tujuh belas target SDGs adalah tidak ada kemiskinan dalam bentuk apa pun di dunia dengan kondisi kesehatan yang baik dan mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Target ini diharapkan terwujud pada tahun 2030 bertepatan dengan harapan bonus demografi yang akan diperoleh di Indonesia. Sehingga, seharusnya, di tahun tersebut, Indonesia sudah terbebas dari keadaan masyarakatnya yang mengalami kemiskinan, kelaparan, kualitas kesehatan buruk dan kualitas pendidikan yang rendah.
D. REKOMENDASI KEBIJAKAN
- Membuat Roadmap Kebijakan HTP 85%, yang secara gradual naik menjadi dari 90%, 95% hingga 100% dalam jangka waktu yang disesuaikan dengan kondisi obyektif di lapangan sekaligus memberikan sanksi yang tegas bagi pelanggar kebijakan HTP.
- Melakukan simplifikasi layer secara konsisten sebagaimana rencana awal pemerintah dari 10 menjadi 8, 6 , 3 layer.
- Menampilkan harga pokok rokok per-batang pada bungkus rokok.
- Membatasi porsi penjualan SKM dan SKT pada industri rokok besar yang sudah melantai di bursa untuk mendorong industri besar memproduksi SKT sehingga dapat membuka lapangan kerja lebih banyak dan mengurangi impor.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Putu Ayu Swandewi, Mary Assunta, and Becky Freeman, “Why is tobacco control progress in Indonesia stalled ? -A qualitative analysis of interviews with tobacco control experts.” BMC public health 20 (2020): 1-12.
FKUI.Perubahan Perilaku Konsumsi Alkohol dan Rokok Selama Era Pandemi COVID 19 di Indonesia dan Faktor- Faktor Yang Berperan.www.fk.ui.ac.id. 9 Februari 2021.Web. Diakses 9 Maret 2021.
GYTS (Global Youth Tobacco Survey) Indonesia 2019. World Health Organization. 2020. E-Book.
Hanafi, Enjeline, et al. “Alcohol-and Cigarette-Use Related Behaviors During Quarantine and Physical Distancing Amid COVID-19 in Indonesia.” Frontiers in psychiatry 12 (2021).
Hirschmann. (2020b). Tobacco industry in Indonesia – statistics & facts.
Kementrian Keuangan. Informasi APBN 2021 Percepatan Pemulihan Ekonomi dan
Penguatan Reformasi. Direktorat Penyusunan APBN; Direktorat Jenderal Anggaran,2021.E Book.
Martin Feldstein, “Rethinking the Role of Fiscal Policy,” American Economic Review: Papers & Proceedings Vol. 99 No. 2 (2009): 556–559.
PKJS-UI.Belanja Rokok pada Penerima Bansos Berpengaruh Pad Efektivitas Program Bantuan.www.liputan6.com.12 Januari 2021. Web. Diakses 15 Maret 2021.
Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2018. Cetak
Rong Zheng et al, Cigarette Affordability in Indonesia: 2002 – 2017 (Washington DC: World Bank Group, 2018), 28
WHO Report. Raising Tobacco Taxes and Prices For a Healthy and Prosperous Indonesia. Jakarta, 2020.
Wulandari, Febry, and Waluyo Waluyo. “Efektivitas Pemanfaatan Dana bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dalam Bidang Kesehatan di Kota Surakarta Tahun 2018.” Jurnal Bestuur 7.1 (2019).
POLICY NOTE | CHED ITB AHMAD DAHLAN JAKARTA