Muhammadiyah Beri Masukan RUU KUHP

Dikutip dari lingkunganmu.comPembahasan perihal Revisi Undang–Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) menjadi pembahasan yang kotraversi. Pasalnya RUU KUP yang digodok oleh pemerintah dan DPR ini, menimbulkan efek domino di kalangan masyarakat, maka sikap Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan ikut turut andil dalam memberikan tanggapan mengenai hal tersebut. karena itulah, Muhammadiyah melalui inisiasi Center of Human &Economic Development (CHED) ITB AD mengundang Majelis-Majelis terkait pada Sabtu (31 Agustus 2021) untuk merumuskan masukan terhadap RUU KUP.

RUU KUP ini  sudah masuk ke prolegnas dan sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan merupakan UU Perpajakan, Kelanjutan dari UU Cipta Kerja. Menurut Mukhaer P., Sekretaris Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan yang juga Rektor ITB-AD ini menegaskan bahwa;

“RUU KUP ini sangat teknikal, berbicara prosedur lebih teknis, Draft RUU tidak cocok untuk jadi Undang-Undang tetapi mestinya dijadikan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).  Spirit Kementerian Keuangan, RUU baru diimplementasikan dalam konsesi normal, dalam kondisi belum normal Undang-Undang walaupun sudah disahkan tetap tidak diberlakukan atau belum menjadi prioritas DPR RI, tetapi sudah masuk ke Prolegnas. Oleh karena itu,  harus di kawal”.

Pada Tanggal 29 Juli 2021, Kemenkeu telah mengundang organisasi keagamaan (termasuk Muhammadiyah) dalam  FGD kebetulan juga Mukhaer menjadi utusan PP Muhammadiyah, di mana dalam FGD tersebut beliau berjanji akan menyampaikan masukan Muhammadiyah secara tertulis kepada Menteri Keuangan.

Dalam membaca dan mencermati RUU KUP ini, “ada beberapa  klausul yang harus hati–hati dan diwaspadai, sebab di saat pertemuan dengan DJP Kemenkeu disampaikan bahwa Muhammadiyah bukan PT, CV dan Yayasan lainnya, bahwa Muhammadiyah adalah perkumpulan keagamaan, tetapi terkadang Pemerintah melihat Muhammadiyah sebagai amal usaha, ketika Muhammadiyah berinteraksi dengan lembaga keuangan  karena batasan tidak ada pembiayaan kepada Muhammadiyah”, ujar Mukhaer.

Padahal dalam Pedoman Amal Usaha Muhammadiyah sudah dijelaskan bahwa sisa operasional Amal Usaha Muhammadiyah itu 15% dimanfaatkan untuk operasional, 10% untuk kontribusi dan 75% untuk reinvestasi (untuk membangun/mengembangkan), karena tidak ada dividen.

Di sisi lain mengapa Pemerintah tidak berusaha untuk meningkatkan pendapatan dari Bea Cukai sebagai  sumber alternatif yang harus digali dan diperluas. Dari dulu hanya ada 3 Cukai saja sementara  negara lain pendapatan dari Cukai cukup banyak.

 

 

Sementara itu, Majelis Hukum dan Hikmah PP Muhammadiyah menyoroti bahwa “Prinsip besar bahwa Hukum itu harus berpihak pada mustad ‘afiin, hukum harus berpihak pada yang lemah. Kalau dilihat dalam RUU KUP ini seberapa besar berpihak pada?, jangan- jangan dalam RUU KUP ini bahasan yang menyangkut hajat hidup orang banyak akan terkena imbasnya termasuk Muhammadiyah yang berkecimpung dalam Pendidikan dan Kesehatan”, tandas Dr. Natangsa.

“Di Muhammadiyah, Rumah Sakit PKU itu spiritnya adalah nirlaba dan tidak mencari keuntungan tetapi tidak boleh rugi. Untuk itu, harus dibedakan mana Rumah Sakit  yang profit oriented dan yang tidak.  Agar Rumah sakit Nonprofit diringankan, terutama terkait dengan pajak-pajak yang ada menyangkut kesinambungan Rumah Sakit. Selama ini pajak un tuk Rumah Sakit non profit sangat memberatkan”, menurut Iqbal Fajri dari MPKU PP Muhammadiyah.

Sebagai bagian dari Jihad Konstitusi Muhammadiyah, maka Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah menyoroti beberapa hal dalam RUU KUP.

“Jika RUU KUP ini diberlakukan maka sebagai pengelola Lembaga Kesehatan dan Lembaga Pendidikan non profit jikalau dikenakan pajak akan sangat memberatkan Muhammadiyah. Dengan adanya pajak Pendidikan maka akan meningkat angka putus sekolah. RUU KUP ini janganlah menjadi respon kepanikan pemerintah dari target 2023 di mana defisit negara tidak boleh lebih dari 3%. Soal Pajak karbon 75.000/ton yang berlaku di Indonesia dan ini masih jauh dari standar-standar negara-negara dunia lainnya. Anggaran perubahan iklim di Indonesia juga masih kecil, jangan sampai objek pajak nya barang  atau personal yang implementasinya adalah pajak karbon akan dikenakan oleh masyarakat. justru akan berdampak  pada masyarakat dan memberatkkan. Dalam Pasal 39 RUU KUP tersebut: ‘Setiap instansi pemerintah lembaga atau pihak lain wajib memberikan informasi terkait perpajakan’. Pihak lain itu siapa? Ini berpotensi menjadi pasal karet”, ujar Ane Permatasari, Wakil Sekretaris MLH PP Muhammadiyah.

Di sisi lain menurut Faisal M Yasin, dari MLH PP Muhammadiyah menambahkan bahwa “Perusahaan Pertambangan banyak yang belum memiliki NPWP.   Objek Pajak Karbon akan bisa bias, antara industri yang menggunakan karbon atau orang per orang yang menggunakan karbon, misal   footprint orang yang ada karbonnya juga akan terkena pajak ini.  Sehingga dibutuhkan data banding dan jangan sampai lembaga sosial disamakan dengan lembaga–lembaga atau perusahaan yang sifatnya profit oriented”. 

Di akhir pembahasanm disepakati bahwa masing-masing Majelis dimohon masukannya secara tertulis diserahkan ke Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan melalui CHED ITB-AD terakhir pada 4 Agustus 2021 (ddp).

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *