Pengendalian Harga Rokok untuk Optimalisasi Cukai dan Pencapaian RPJMN

Dalam PMK 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan tahun 2020-2024, Pemerintah memasukkan tujuan ke-2 yaitu “Optimalisasi Penerimaan Negara dan Reformasi Administrasi Perpajakan Serta Reformasi Kepabeanan dan Cukai”. Salah satu sasarannya adalah penerimaan negara disektor kepabeanan dan cukai yang optimal. Sejak tahun 2017, realisasi penerimaan Bea dan Cukai melebihi target berkisar Rp 3 T hingga Rp 7 T. Namun tahun 2020 ini terdapat penurunan pendapatan bea dan cukai menjadi Rp 205 T dibanding tahun sebelumnya Rp 213,4 T. Kondisi pandemi Covid ini tampaknya mempengaruhi pendapatan negara termasuk bea dan cukai.

Pandemi covid-19 menyebabkan peningkatan kebutuhan anggaran belanja yang berdampak terhadap pelebaran defisit sehingga mengakibatkan meningkatnya kebutuhan pembiayaan negara. Defisit yang dialami tahun 2020 adalah sebesar Rp 1.039,3 triliun dan tahun 2021 diperkirakan pemerintah masih mengalami defisit Rp 1.006,4 triliun. Turunnya pendapatan negara dan besarnya biaya pemulihan ekonomi dan kesehatan serta rendahnya rasio pajak diduga menjadi penyebab utama negara Indonesia mengalami defisit.

Di masa Pemulihan Ekonomi Nasional ini, ada baiknya pemerintah menyiapkan sumber pendapatan lain yang lebih pasti misalnya peningkatan cukai. Cukai walaupun tujuannya utamanya adalah pengendalian konsumsi, dapat digunakan sebagai alternatif peningkatan pendapatan negara. Dari target penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.444,5 triliun, cukai ditargetkan menyumbang sebesar Rp 180 triliun. Dalam renstra PMK 77/2020, pemerintah mengupayakan intensifikasi dan ekstensifikasi baik obyek dan subyek pajak maupun perluasan barang kena cukai; penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau (HT); peningkatan tarif cukai HT. Optimalisasi cukai dari pemerintah perlu didukung terutama fungsi cukai sebagai pengendali konsumsi hasil tembakau.

Namun fungsi cukai sebagai pengendali konsumsi hasil tembakau tidak akan optimal jika ternyata perusahaan rokok diperbolehkan menjual di bawah 85% dari harga banderol. Praktik penjualan rokok di bawah harga jual eceran 85% ini tertuang dalam lampiran XII Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Bea Cukai Nomor 37 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Tembakau. Tujuan dari penetapan Harga Jual Eceran (HJE) melalui PMK 146/PMK.010/2017 adalah supaya industri rokok terutama industri besar, tidak menjual rokok dengan harga murah. Sayangnya, kebijakan HJE 85 % ini menurut pemantauan harga rokok oleh beberapa organisasi masyarakat, banyak perusahaan yang menjual harga rokok di tingkat retail jauh lebih rendah dari harga banderol.

Kondisi harga rokok dibawah HJE 85% ini tidak mempengaruhi tarif cukai karena cukai yang dikenakan pada perusahaan adalah pada harga banderol (HJE). Namun rokok dari industri besar dijual dengan harga sangat rendah dari harga pasaran (predatory pricing) akan membuat rokok masih mudah dibeli. Akibatnya tujuan pengendalian konsumsi hasil tembakau tidak akan optimal. Perusahaan besar rokok akan mendominasi industri hasil tembakau dan industri rokok lebih kecil dan padat karya akan tersingkir. Perusahaan rokok kecil memprotes aturan yang dianggap kurang adil ini. Misalnya, perusahaan rokok kecil dan menengah di Kota Malang, Jawa Timur menuntut keadilan kepada pemerintah segera memberlakukan harga jual eceran (HJE) rokok minimum 85% sampai 100% sesuai bandrol secara nasional.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *