Jakarta, 21 Agustus 2024 – Dalam upaya memperkuat kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia, Center for Health Economics and Development (CHED) menyelenggarakan pertemuan Jaringan Pengendalian Tembakau. Pertemuan ini membahas berbagai isu strategis terkait regulasi, advokasi, serta tantangan dalam implementasi kebijakan pengendalian tembakau di berbagai daerah.
Pertemuan ini menyoroti kebijakan Peraturan Pemerintah No. 28/2024, kebijakan tersebut dianggap sebagai dasar yang lebih kuat dalam pengendalian tembakau. Namun, masih terdapat kelemahan yang perlu diperbaiki, terutama terkait desain pita cukai yang menutupi Peringatan Kesehatan Bergambar (PHW). Sehingga dinilai perlu adanya regulasi yang mengatur standarisasi kemasan produk tembakau. “Pertemuan ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat perkembangan positif dalam pengendalian tembakau di Indonesia, masih banyak tantangan yang perlu diatasi. Kami di CHED berkomitmen untuk terus melakukan advokasi dan penelitian guna memastikan kebijakan yang lebih ketat dan efektif dalam pengendalian konsumsi tembakau, khususnya dalam melindungi kelompok rentan seperti anak-anak dan remaja dari dampak buruk rokok dan rokok elektronik,” ujar Roosita Meilani Dewi, Kepala Studi CHED ITB-AD Jakarta.

Dalam pertemuan yang membahas pengendalian tembakau di Indonesia, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tirmizi, menegaskan bahwa pemerintah menyambut baik peran aktif lembaga dan organisasi dalam mendukung kebijakan pengendalian tembakau.
Menurut Siti Nadia, tantangan utama yang dihadapi saat ini adalah meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pengendalian tembakau. “Kesadaran publik menjadi kunci keberhasilan dalam implementasi regulasi yang lebih ketat, dan ini memerlukan kerja sama dari berbagai pihak,” ujarnya.
Namun, ia juga mengungkapkan adanya kekhawatiran dari pihak oposisi mengenai dampak regulasi terhadap usaha kecil seperti warung serta potensi meningkatnya peredaran rokok ilegal. Oleh karena itu, strategi yang lebih komprehensif diperlukan untuk memastikan kebijakan ini berjalan efektif tanpa merugikan kelompok tertentu.

Selain itu, Siti Nadia menyoroti bahwa upaya untuk menghubungkan isu gizi dengan pengendalian tembakau masih belum sepenuhnya dioptimalkan. “Kaitan antara konsumsi tembakau dengan permasalahan gizi perlu mendapat perhatian lebih dalam kebijakan kesehatan masyarakat,” tambahnya.
Selain itu, advokasi untuk menolak penyelenggaraan World Tobacco Asia (WTA) akan terus diperkuat dengan pendekatan “Kota Layak Anak.” Strategi ini menekankan perlindungan anak-anak dari paparan iklan dan promosi tembakau yang dapat mendorong mereka menjadi perokok pemula.
Dengan adanya pertemuan ini, diharapkan sinergi antar lembaga jaringan pengendalian tembakau semakin kuat untuk mendukung kebijakan pengendalian tembakau yang lebih baik di Indonesia.