Oleh: Devi Utami Rika Safitri | Center of Human and Economic Development, ITB Ahmad Dahlan Jakarta
Sejak 27 Desember 2022 lalu presiden Joko Widodo menegaskan secara langsung di hadapan awak media saat melakukan kunjungan kerja di Pasar Pujasera, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat bahwa akan melakukan pelarangan penjualan rokok batangan di pasaran, hal ini bertujuan untuk menjaga kesehatan masyarakat. Pernyataan tersebut ditegaskan kembali dengan membandingkan peraturan pelarangan penjualan rokok batangan yang sudah diberlakukan di beberapa negara. Meskipun demikian presiden masih mengizinkan adanya penjualan rokok per bungkus di pasaran.
Rencana pelarangan penjualan rokok batangan yang diisukan akan dimulai tahun 2023 tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 yang telah ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 23 Desember 2022. Dalam Keppres itu disebutkan juga menyebutkan bahwa pemerintah berencana merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 soal Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Upaya pemerintah untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 yang kerap kali disoroti oleh para pegiat pengendalian konsumsi rokok dan tembakau meliputi ukuran pesan bergambar diperbesar; rokok elektrik diatur; iklan, promosi, dan sponsorship yang berkaitan dengan produk rokok diperketat; penjualan rokok batangan dilarang; serta peningkatan fungsi pengawasan pengendalian konsumsi tembakau terkategori mangkrak tidak berujung. Selain itu, pada pasal 154 tentang Zat Adiktif yang termuat dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan dianggap tidak berpihak pada tujuan kesehatan dan perlindungan anak apabila di dalamnya tidak mengatur terkait pelarangan iklan, promosi dan sponsor produk tembakau, maupun pelarangan penjualan rokok batangan.
Berkaitan dengan sikap pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 Tahun 2022, masyarakat perlu mengapresiasi upaya pemerintah dalam menekan perokok anak dengan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok sebesar 10 persen yang berlaku untuk tahun 2023 dan 2024. Kebijakan kenaikan tarif cukai ini tentu akan berpengaruh terhadap harga rokok yang semakin mahal di pasaran. Meskipun demikian, kebijakan tersebut dinilai tidak efektif karena tidak diikuti dengan kenaikan harga eceran per batang. Sehingga terjadi kenaikan cukai, namun efeknya bisa ditekan pabrik rokok dengan mengurangi profit mereka. Selain itu, pembagian golongan jenis rokok yang masih banyak yakni 8 golongan berpotensi terjadi degree of manueverability yang tinggi kepada perusahaan-perusahaan rokok untuk menyiasati kenaikan cukai. Sehingga masyarakat akan beralih mengkonsumsi rokok dengan harga yang lebih murah serta menjadi strategi pabrikan untuk mengurangi jumlah batang dalam setiap bungkusnya.
Hasil survei pemantauan harga rokok yang dilakukan oleh CHED ITB Ahmad Dahlan di wilayah Jabodetabek tahun 2021 pada 6 titik penjualan yang terdiri dari : Minimarket, Terminal/Halte, Pasar Tradisional, SPBU dan Toko Pinggir jalan (Kios kecil) menunjukkan bahwa berdasarkan pada aturan HTP 85% terdapat 79% bungkus rokok yang Harga Transaksi Pasar-nya ≤ 85% dari HJE dan selebihnya (21%) bungkus rokok yang hasil survei HTP nya < 85% dari HJE. Selain itu, 5 dari 6 titik penjualan survei pemantauan harga lebih sering melakukan penjualan rokok per batang, penjual pengungkapkan bahwa penjualan secara batangan lebih menguntungkan. Dari segi pembelian, penjualan per batangan dapat dijual kepada segmen pasar yang lebih varitif, bukan hanya orang dewasa namun juga remaja dan anak sekolahan.
Fakta ini diberbarui oleh Data Outlook Perokok Pelajar Indonesia 2022 hasil riset kolaborasi antara Indonesia Institute for Social Development (IISD), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), dan Peneliti Universitas Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) menunjukkan bahwa dari 1.275 responden pelajar di 175 Kab/Kota 27,76% diantaranya mengaku pernah merokok dan 10,67% diantaranya merupakan perokok harian, 48,53% perokok pelajar harian menghabiskan 1-5 batang per hari. Belanja rokok per hari di kalangan pelajar relatif terjangkau dan murah, untuk membeli rokok 30,88% pelajar cukup mengeluarkan uang 6.000 – 10.000, selain harga yang murah dan terjangkau 47,06% pelajar juga “diringankan” karena dapat membeli rokok per batangan. Saat melakukan pembelian 86,76% pelajar mengaku tidak ditanya usia oleh penjual, bahkan tidak ada himbauan penegasan dari penjual mengenai pelarangan rokok bagi setiap pelajar dibawah 18 tahun.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk Indonesia dengan usia lebih dari 5 tahun yang merokok sebesar 23,25% pada 2022. Angka ini tentu masih jauh dari target menurunkan prevalensi perokok anak dari 9,1% ke 8,7% pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024. Keterjangkauan harga serta kemudahan akses tempat pembelian rokok per batangan menjadi ancaman memperlambat penurunan prevalensi perokok anak di Indonesia.
Selama pandemi tahun lalu, alih – alih membantu meringkatkan konsumi rokok para perokok, penjualan rokok murah dan eceran per batang justru menjadi racun memperburuk kondisi kesehatan selama pandemi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti UHAMKA pada 15 rumah sakit rujukan COVID-19 yang berafiliasi dengan Muhammadiyah-‘Aisyiyah di Indonesia menyebutkan bahwa pasien yang saat terpapar covid-19 adalah merokok memiliki risiko 5 kali lebih besar terkena ARDS dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah merokok. Bukti saat ini menunjukkan bahwa adanya penyakit kronis dan perilaku merokok dapat digunakan sebagai prediksi awal perkembangan ARDS di antara pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit.
Sampai tahun 2023, Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Pasific yang tidak menandatangani FCTC, yang merupakan instrumen hukum internasional untuk mengatasi global epidemi tembakau. BAPPENAS memprediksi angka perokok anak di Indonesia akan mencapai 16 persen di 2030, jika pemerintah tidak segera lakukan penanganan melalui kebijakan komprehensif. Terlebih lagi pada tahun 2018 terjadi lonjakan prevalensi perokok anak menjadi 9,10 persen di 2018 dari 8,80 persen di 2016. Padahal target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), perokok anak harusnya turun hingga 5,40 persen. Jumlah konsumsi rokok dan kematian akibat rokok terus mengalami peningkatan. Penjualan rokok pada tahun 2021 meningkat 7.2% dari tahun sebelumnya. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2021 telah terjual 296.2 miliar batang rokok dari tahun sebelumnya yang terjual sebesar 276.2 miliar batang rokok. Di Indonesia sendiri, tembakau membunuh 290.000 orang setiap tahunnya dan tergolong sebagai penyebab kematian terbesar akibat penyakit tidak menular.
Tahun 2023 Indonesia kembali memasuki tahun politik untuk menyambut Februari 2024, dimana Indoensia akan menggelar pemilihan presiden-wakil presiden dan pemilu legislatif. Sebagian besar para pemangku kebijakan yang lahir dari partai politik khususnya telah sibuk melakukan kampanye kemenangan masing – masing calon. Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang kerap kali tertunda atau bahkan terbaikan, khususnya terkait peraturan pelarangan penjualan rokok per batang yang telah masuk dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 berpotensi akan kembali ter-ghosting apabila tidak disegerakan. Menyegerakannya Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012, terutama peraturan pelarangan penjualan rokok per batangan merupakan satu bentuk arif-bijaksana pemerintah dalam mendukung peningkatan sumber daya manusia dalam hal keselamatan kesehatan.