Oleh: Mukhaer Pakkanna, Senior Advisor CHED ITB-AD | Berbeda pada tahun-tahun sebelumnya, hampir bisa dipastikan kebijakan kenaikan cukai rokok pada 2025 akan ditanggalkan. Melalui Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu RI, menyampaikan: “Sampai dengan penutupan pembahasan RAPBN 2025 yang minggu lalu ditetapkan DPR, posisi pemerintah untuk kebijakan CHT di 2025 belum akan dilaksanakan,” (APBN KiTa, 23 September 2024).
Banyak spekulasi yang menjadi alasan mengapa pemerintah tidak menaikkkan cukai, misalnya, untuk merawat kelangsungan industri tembakau legal, menjaga daya beli masyarakat yang makin tergerus, menjaga penjualan dalam kondisi melemahnya daya beli masyarakat, dan membantu pemulihan iklim industri rokok legal (Kompas, 12 September 2024)
Tentu, spekulasi ini perlu diluruskan terkait makna cukai. Per definisi, cukai dikenakan pada suatu komoditas karena eksternalitas negatif dari komoditas tersebut terhadap masyarakat dan lingkungan, bukan semata menambal penerimaan negara. Merujuk UU No. 39 tahun 2007 tentang Cukai, pengenaan beban cukai diharapkan dapat menekan konsumsi produk-produk tersebut. Produk tembakau dan rokok memiliki eksternalitas negatif terutama terhadap kesehatan, lingkungan, anak remaja, orang miskin, perokok pasif, hingga pada buruh perkebunan tembakau, buruh industri, dan lainnya.
Sayang sekali, makna itu diterpedo bunyi pasal 5 ayat 4 dalam UU itu: “Penentuan besaran target penerimaan negara dari cukai pada RAPBN dan alternatif kebijakan Menteri dalam mengoptimalkan upaya mencapai target penerimaan, dengan memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri, disampaikan kepada DPR RI untuk mendapat persetujuan”. Alih-alih memitigasi risiko terhadap lingkungan atau entitas yang terkena limbah negatif rokok, industri/pelaku usaha rokok yang justru mendapat privilege untuk diperhatikan.
Padahal, tarif cukai itu dibayar perokok, bukan dibayar industri rokok. Di banyak negara, beban cukai ini lazimnya digeser (shifted) ke konsumen melalui harga yang lebih tinggi, sehingga tidak banyak menggerus keuntungan produsen/industri. Kendati harga jual rokok relatif tinggi, biaya produksi sejatinya masih rendah, terutama bahan baku (tembakau, cengkeh, kertas rokok). Selisih antara biaya produksi dan harga jual memberikan margin keuntungan superjumbo, sementara yang terkena eksternalitas negatif terutama masyarakat miskin, semakin apes.
Titik Mundur
Suatu titik mundur, jika rencana penanggalan kenaikan cukai ini terealisir, terutama terkait ikhtiar perlindungan kesehatan masyarakat, usai disahkannya PP No 28/2024 tentang Kesehatan, khususnya pada pengamanan bahan zat adiktif. Ketentuan PP itu sebagai derivasi UU No. 17/2023, mengatur pembatasan penjualan rokok eceran per batang, pembatasan iklan rokok, dan peringatan kesehatan pada iklan rokok. PP ini juga tidak hanya mengatur sirkulasi produk tembakau, tapi juga rokok elektronik, memperbesar ukuran peringatan kesehatan bergambar bungkus rokok, hingga melarang penjualan rokok kepada anak di bawah usia 21 tahun dan dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Dengan rencana itu, tentu akan menghambat pelbagai ikhtiar pengendalian rokok yang telah direncanakan dan memberi dampak negatif terhadap kondisi kesehatan masyarakat. Mengonfirmasi studi PKJS-UI (2023), menunjukkan semakin mahal harga rokok maka makin kecil peluang anak merokok. Harga rokok murah juga menjadi faktor yang memotivasi anak kambuh untuk merokok kembali (smoking relapse). Bahkan studi PKJS UI lainnya, menunjukkan setiap 1 persen kenaikan belanja rokok menggenjot peluang terhadap kemiskinan sebesar 6 persen poin pada rumah tangga. Ini mengirim pesan, konsumsi rokok memiliki pengaruh besar terhadap garis kemiskinan.
Dalam riset Bappenas (2019), bahwa setiap tahun, perilaku merokok membunuh sekitar 225.700 orang Indonesia dan membuat negara ini kehilangan 6 juta tahun produktif (DALYs loss, disability-adjusted life years), atau hilangnya waktu produktif yang bisa digunakan untuk bekerja dan menghela pertumbuhan ekonomi. Dalam simulasi Bappenas (2019), kenaikan cukai hasil tembakau rerata sebesar 25 persen pada 2021 akan menurunkan prevalensi perokok dewasa dari 33,8 persen menjadi 32,0 persen, dan prevalensi perokok remaja dari 9,1 persen menjadi 8,6 persen.
Kebijakan ini berpotensi mereduksi 340.000 kematian dini dan mencegah 200.000 anak-anak Indonesia untuk mulai merokok. Saat yang sama, produkvitas tenaga kerja meningkat karena kualitas kesehatan penduduk lebih baik, dan perekonomian menghasilkan 126.000 pekerjaan baru.
Studi sistematis CHEDs (2024), menunjukkan kebijakan pajak dan harga tembakau tidak hanya berdampak pada penurunan prevalensi merokok di kalangan dewasa dan remaja, tetapi juga memberikan keuntungan bagi 20 persen penduduk termiskin. Ihwal ini menegaskan, potensi kebijakan ini sebagai instrumen ganda untuk pengendalian tembakau dan pengentasan kemiskinan.
Temuan ini paralel rekomendasi WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) (2020) yang menyatakan, kebijakan pajak dan harga adalah intervensi paling efektif mengurangi konsumsi tembakau. Simulasi kajian lain, Raise Tobacco Taxes and Prices for a Healthy and Prosperous Indonesia (2020), menunjukkan, kenaikan pajak tahunan sebesar 25 persen dapat mengurangi jumlah perokok dua kali lipat dan menghasilkan pendapatan tambahan sebesar Rp 102,8 triliun pada 2022 dibandingkan kenaikan 10 persen. Sejurus riset Swartana dkk, bahwa pengeluaran untuk tembakau secara substansial mengalihkan (crowd-out) anggaran rumah tangga dari kebutuhan penting lainnya. Penting dicatat, efek pengalihan ini persistent terlihat di seluruh spektrum ekonomi, memengaruhi rumah tangga berpenghasilan rendah, menengah, maupun tinggi.
Ihwal ini menegaskan, pengurangan alokasi biaya tembakau (rokok) masyarakat miskin berpotensi mendongrak kemampuan rumah tangga memenuhi kebutuhan pokoknya. Konsumsi tembakau, tidak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga secara langsung memengaruhi kesejahteraan ekonomi rumah tangga miskin, dengan mengurangi kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan kualitas hidup.
Mitigasi
Absennya Indonesia dalam partisipasi FCTC berdampak pada ketertinggalan dalam mengendalikan eksternalitas negatif. Dalam buletin WHO, volume 97 (Februari 2018) Indonesia memiliki skor paling rendah ihwal keterjangkauan dan pengendalian distribusi produk rokok. Rokok di Indonesia paling mudah dijangkau dibanding negara lain di Asia Tenggara. Sementara penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sangat rendah skornya dalam melindungi perokok pasif.
Maka, peningkatan harga rokok melalui kenaikan cukai rokok setiap tahun adalah cara efektif mendorong perokok berhenti dan mencegah anak-anak mulai merokok.
Cukai rokok menjadi amanah UU No 39 Tahun 2007, sebagai instrumen fiskal pengendalian konsumsi produk. UU tersebut mengamanatkan penetapan cukai rokok maksimal hingga 57 persen dari harga eceran. Saat ini, tarif cukai untuk produk Sigaret Kretek Mesin (SKM) sudah mencapai 51 persen dari Harga Jual Eceran (HJE) yang ditetapkan, kendati cukai untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) masih rendah, hanya sekitar 10-30 persen.
Kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan Harga Jual Eceran (HJE) merata pada semua jenis dan golongan rokok minimal 25 persen per tahun. Berdasarkan rekomendasi WHO, kenaikan cukai rokok dan melihat fenomena 10 tahun, pengaruhnya terhadap konsumsi masyarakat dan penerimaan negara dari CHT berkerek naik signifikan dan progresif.
But not least, pentingnya penyederhanaan struktur tarif CHT bertahap sesuai intensifikasi kebijakan tarif CHT yang bersifat multi-years dengan mendekatkan disparitas tarif antar layer. Penyederhanaan menjadi 5 layer pada tahun pertama dan 3 layer pada tahun berikutnya. Hasil pemantauan harga yang dilakukan CHEDs (2023), ditemukan fenomena downtrading atau peralihan konsumsi ke rokok murah pada SKM dan SPM golongan II dan SKT karena faktor utama adanya selisih harga tarif cukai yang cukup besar dengan SKM dan SPM golongan I serta SKT.
Saat ini, selisih tarif cukai SKM golongan I dan II mencapai 61 persen serta selisih tarif cukai SPM golongan I dan II mencapai 59 persen. Ihwal inilah yang memberikan peluang masyarakat memilih beralih ke jenis rokok dengan golongan tarif cukai lebih rendah (murah). Tanpa simplifikasi layer, mustahil dampak pengendalian tembakau/rokok bisa dimitigasi. Artinya, kebijakan cukai harus simultan dengan kebijakan lainnya, misalnya, efektifitas implementasi PMK RI No. 72/2024 tentang Penggunaan DBHCT dan perlunya literasi publik dalam menekan konsumsi rokok. Semoga.
Sumber: Kompas, 28 November 2024