Jakarta, 22 Agustus 2025 – Center of Human and Development Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (CHED ITBAD) menggelar konferensi pers bertajuk “Membaca RAPBN 2026: Target Penerimaan Cukai Rokok untuk Rakyat apa Pemerintah?” di Gedung Antara Heritage Center, Jakarta Pusat. Acara yang berlangsung secara hybrid ini menghadirkan sejumlah pakar kesehatan publik, ekonomi, dan kebijakan.
Dalam diskusi tersebut, para narasumber menyoroti dilema antara penerimaan negara dari cukai rokok dengan biaya sosial dan kesehatan yang harus ditanggung masyarakat akibat konsumsi rokok.
Mukhaer Pakkanna, Senior Advisor CHED ITBAD, menekankan bahwa industri rokok justru memperkaya diri melalui eksploitasi kelompok rentan.
“Surplus ekonomi keluarga miskin banyak dialihkan ke industri rokok. Industri rokok menjadi kaya raya berkat kontribusi masyarakat miskin, petani tembakau, buruh industri, bahkan anak-anak yang menjadi konsumen,” ungkap Mukhaer.
Mukhaer juga mengingatkan bahwa kendala terbesar pengendalian rokok di Indonesia bukan semata aspek ekonomi, melainkan politik.
“Industri rokok memiliki lobi politik yang kuat, bahkan hingga level desa. Intervensi industri tembakau (Tobacco Industry Interference/TII) adalah hambatan utama dalam pengendalian tembakau,” tegasnya.
Halik Sidik menguraikan ketimpangan biaya dan penerimaan daerah terkait rokok.
“Biaya pemerintah daerah untuk menangani penyakit akibat rokok mencapai Rp5,4 miliar per tahun, sementara pajak iklan rokok hanya sekitar Rp150 juta. Tidak rasional jika penerimaan lebih kecil dibanding biaya kerugian,” jelas Halik.
Ia juga menambahkan bahwa beban BPJS Kesehatan semakin berat dengan klaim penyakit katastropik akibat rokok.
“Empat penyakit dengan biaya klaim terbesar adalah jantung, gagal ginjal, kanker, dan stroke. Ironisnya, sebagian besar pasien justru dari kelas menengah-atas di kota besar, sementara akses warga miskin ke BPJS masih rendah,” tuturnya.
Roosita Meilani Dewi, Kepala Pusat Studi CHED ITBAD, menyebut fenomena ekonomi rokok di Indonesia sebagai Serakanomics.
“Industri rokok mengeksploitasi konsumen kecanduan, membuat masyarakat terkunci dalam pola konsumsi. Mereka sengaja menyasar anak-anak, remaja, perempuan, dan kelompok miskin. Industri meraup untung besar, tapi biaya kesehatan dan sosial dipindahkan ke masyarakat,” papar Roosita.
Ekonom Abdillah Ahsan menegaskan bahwa turunnya konsumsi rokok tidak merusak ekonomi, justru menguatkan daya tahan bangsa.
“Jika masyarakat berhenti merokok, pengeluaran rumah tangga akan dialihkan ke pendidikan, gizi, dan kebutuhan produktif lainnya. Konsumsi rokok yang menurun membuat masyarakat lebih sehat dan produktif, sehingga ekonomi kita lebih kuat,” kata Abdillah.
Sementara itu, Lily S. Sulistyowati mengkritisi paradigma pemerintah yang masih mengandalkan cukai rokok dalam RAPBN.
“Negara masih menempatkan rokok sebagai penopang penerimaan. Padahal biaya kesehatan akibat rokok 2–3 kali lipat lebih besar dibanding penerimaan cukai,” jelas Lily.
Menurutnya, paradigma kesehatan publik seharusnya menitikberatkan pada pencegahan.
“Public health harus fokus pada promotif dan preventif agar masyarakat sehat tetap sehat. Kalau pengendalian tembakau tidak serius, peningkatan anggaran kesehatan hanya ibarat menimba air di kapal bocor,” pungkas Lily.