Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) DKI Jakarta Tidak Terbukti Ganggu Ekonomi Pelaku Usaha Kecil

Jakarta, 5 Juli 2025 — Setelah tertunda selama 14 tahun, Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) akhirnya mulai dibahas oleh DPRD DKI Jakarta pada pertengahan tahun ini. Pembahasan ini mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan masyarakat sipil dan akademisi sebagai langkah penting dalam melindungi kesehatan publik, terutama generasi muda, dari dampak konsumsi tembakau.

Roosita Meilani Dewi, Kepala Center of Human and Economic Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta, menilai bahwa Raperda KTR memiliki landasan hukum yang kuat. “Ini adalah bentuk nyata dari implementasi hak atas hidup sehat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28, hingga Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 yang secara tegas melarang penjualan rokok kepada anak di bawah usia 21 tahun,” jelas Roosita.

Kekhawatiran sejumlah pihak bahwa Raperda KTR akan berdampak negatif pada ekonomi daerah terbantahkan dengan data keuangan resmi DKI Jakarta. Selama satu dekade penerapan larangan iklan rokok melalui Pergub No. 1 Tahun 2015, penerimaan pajak reklame justru mengalami tren stabil bahkan meningkat: dari Rp714,9 miliar pada 2015 menjadi Rp961,3 miliar pada 2024, dengan puncak tertinggi Rp1,095 triliun pada 2022.

“Fakta ini membantah narasi bahwa promosi rokok diperlukan untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Justru, pengeluaran rumah tangga miskin untuk rokok yang menempati urutan kedua setelah beras—mencapai Rp79.226 per bulan (Susenas 2019)—menunjukkan beban ekonomi yang justru ditanggung keluarga,” tambah Roosita.

CHED mendorong DPRD DKI Jakarta segera mengesahkan Raperda KTR dengan tiga alasan utama:

  • Melindungi hak kesehatan masyarakat sebagai bagian dari HAM,
  • Menyelamatkan generasi muda dari adiksi nikotin dini,
  • Memperkuat konsistensi pengendalian tembakau di ibu kota.

Sementara itu, Ketua Smoke Free Jakarta, Dollaris Riauaty Suhadi, menegaskan pentingnya regulasi KTR yang kuat dan komprehensif. “Raperda ini menyatukan berbagai kebijakan yang telah ada sebelumnya, termasuk aturan sanksi bagi pelanggar dan perluasan cakupan larangan pada rokok elektronik, promosi, dan sponsor rokok,” ujarnya.

Dollaris juga membantah klaim bahwa peraturan KTR akan merugikan usaha kecil. “Tidak ada bukti bahwa penerapan KTR mengganggu ekonomi lokal, baik di Jakarta maupun di kota-kota global lainnya. Penjualan warung dan UMKM tetap berjalan normal setelah larangan iklan rokok diberlakukan,” tegasnya.

Dukungan juga datang dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI). Sekretaris Jenderal LPAI, Titik Suharyati, menyebut bahwa kebijakan KTR merupakan investasi jangka panjang untuk melindungi anak-anak. “Kebijakan ini berperan penting dalam menekan angka perokok anak yang semakin mengkhawatirkan dari tahun ke tahun,” ungkap Titik.

Sementara itu, dr. Sumarjati Arjoso, SKM, Ketua Tobacco Control Support Centre Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI), menekankan pentingnya keselarasan Raperda KTR dengan PP No. 28 Tahun 2024. Ia menyerukan agar Raperda ini tetap mempertahankan larangan total iklan rokok, termasuk mencantumkan aturan larangan penjualan rokok elektronik, penjualan rokok batangan, serta integrasi layanan Upaya Berhenti Merokok (UBM).

Dengan data, dukungan publik, serta bukti lapangan yang tersedia, momen pembahasan Raperda KTR 2025 diharapkan menjadi titik balik bagi Jakarta untuk tampil sebagai kota percontohan dalam pengendalian tembakau di Indonesia.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *